Kamis, 30 Mei 2013

Uji Fit Model pada SEM

Fit model adalah rasio atau koefisien yang digunakan untuk menguji apakah model SEM yang dibentuk dapat digunakan untuk estimasi ( jika untuk uji hipotesis aja maka melihat probabilitasnyanya aja sudah cukup). ada banyak sekali koefisien untuk digunakan dalam pengujian model fit, namun yang penting adalah :

CHI-SQUARE (syarat : probabilitas > 5 %)
RMSEA ( syarat : < 0.08)
GFI ( syarat : > 0.9)
AGFI (syarat : > 0.9)
CMIN/DF ( syarat : < 2)
TLI ( syarat: > 0.95)
CFI (syarat: > 0.95)

Lalu bagaimana jika model awal tidak memenuhi fit model ?
Jawabannya adalah buat model revisinya yaitu :
1. menghilangkan hubungan yang tidak signifikan dalam model
2. melakukan korelasi antara varianse atau antar variabel 

Beberapa Kekurangan SEM

SEM mengsyaratkan jumlah sampel yang cukup besar 100-200 (minimal), jika sampel dibawah 100 maka disarankan menggunakan software PLS (partial least square). beda PLS dan SEM adalah PLS menggunakan asumsi distribusi data yang tidak normal sedangkan SEM dengan asumsi distribusi data yang normal.

SEM membutuhkan banyak jurnal karena semakin banyak hipotesis maka semakin banyak jurnal yang dibutuhkan

SEM sebaiknya digunakan untuk variabel variabel yang berbasis data pada "persepsi" seperti MSDM atau marketing atau sumber data primer dengan kuestionare (namun minimal skala data intervel). Variabel unobserved adalah variabel yang pengukurannya menggunakan indikator (lebih dari 1 indikator), namun untuk SEM sebaiknya indikator > 3. Variabel unobserved biasanya disebut : latent variabel. Untuk variabel observed sebaiknya menggunakan model path analysis (sama dengan model SEM, hanya tidak menggunakan indikator pada variabelnya). Variabel observed biasanya disebut : manifest atau proxy, biasanya digunakan pada penelitian yang menggunakan sumber data sekunder dengan skala data rasio.

Logika Pemodelan SEM

SEM merupakan suatu perluasan (extension) dari beberapa tehnik multivariate, khususnya regresi berganda dan analisis faktor. (Hair, dkk, 1992 : 426). Defenisi yang relatif sama adalah bahwa SEM : “tidak lebih “ dan “tidak kurang” dari path analytical model dengan “latent variables”. SEM = Path Anaysis + latent variables (Confirmatory factor analysis) (Mueller, 1996:129).

Jadi SEM dapat didefenisikan sebagai tehnik analisis multivariate yang menganalisis hubungan yang melibatkan variabel intervening.

Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa kita menggunakan SEM ? regresi saja udah cukup ! salah satu kelebihan SEM adalah melibatkan variabel intervening (variabel antara). Konsep intervening tidak sama dengan variabel moderating (walaupun ada beberapa tulisan yang menggunakan kedua istilah ini bergantian atau memiliki makna yang sama). 

Variabel intervening tidak sama dengan moderating. Variabel moderating biasanya disebut variabel kontrol, yaitu variabel yang "disisipkan" dalam model untuk melihat dampak variabel itu dalam suatu hubungan antara variabel Y dan X. jadi sifat variabel moderating ini tidak kuat (tidak ditunjang teori dan penelitian terdahulu yang kuat). 

Variabel moderating hanya berfungsi sebagai "variabel kontrol" atas suatu model hubungan. Sehingga untuk menganalisis peranan atau fungsi kontrol dari variabel moderating, biasanya digunakan analisis regresi berganda saja atau 2 or 3 SLS (stage least square). Sedangkan variabel intervening adalah variabel yang relatif stabil dalam suatu model karena telah didukung oleh teori dan penelitian terdahulu yang kuat. 

Dalam model SEM, kontribusi variabel intervning dapat dilihat pada koefisien "indirect effect" atau pengaruh tidak langsung, yang nantinya akan dibandingkan dengan "direct effect" untuk melihat posisi variabel intervening apakah menguatkan atau melemahkan hubungan dalam model tersebut.

Disamping itu, filosopi dasar dari model SEM adalah setiap model SEM didasari pada logika model : IPO (input-proses-output). artinya : variabel endogeneousnya adalah input, variabel endogeneous intervening adalah proses dan endogeneous dependent adalah outputnya. contoh : pengaruh kualitas layanan terhadap loyalitas. model ini belum sempurna karena kualitas layanan secara proses harus pertama tama mempengaruhi "kepuasan" baru ke loyalitas.

PLS dan SEM

  • Structural Equation Model (SEM) adalah covariance based, sedangkan Partial Least Square (PLS) adalah component based
  • Kapan saat membutuhkan SEM dengan PLS (selanjutnya kita sebut dengan PLS saja)?
    • Model penelitian mengindikasikan lebih dari satu var dependen
    • Data tidak bersifat multivariate normal
    • Sampel kecil atau jumlah cases terbatas
    • Model penelitian melibatkan item formatif dan item refleksif sekaligus.
  • Kelebihan PLS adalah kemampuannya memetakan seluruh jalur ke banyak variabel dependen dalam satu model penelitian yang sama dan menganalisis semua jalur dalam model struktural secara simultan. (Fornell and Bookstein, 1982; Barclay, Higgins, and Thompson, 1995; Gefen, Straub, and Boudreau, 2000). Kelebihan lainnya adalah hanya memerlukan sedikit cases daripada SEM (Chin and Newsted, 1999; Gefen, Straub, and Boudreau, 2000).
  • Dalam PLS data tidak perlu memenuhi asumsi multivariate normal.
  • Analisis SEM mengasumsikan seluruh item/indikator adalah reflektif. Sedangkan PLS bisa reflektif dan formatif.
  •  
Reflektif:
Formatif:
  • Chin (1998a) menyarankan untuk membedakan apakah suatu item formatif atau tidak dengan mengajukan pertanyaan berikut: apakah perubahan pada satu item akan menimbulkan perubahan dengan arah yang sama pada item lainnya? Jika jawabannya tidak berarti kelompok item tersebut formatif.
  • Penggunaan item formatif dalam SEM bisa mengakibatkan permasalahan serius terkait validitas hasil dan konklusinya. Chin (1998a) mengatakan:”… semua item harus reflektif agar konsisten dengan algoritma statistiknya yang mengasumsikan bahwa korelasi diantara indikator dalam satu Laten Variabel (LV) disebabkan oleh LV tersebut.
  • Prosedur analisis data pada SEM-PLS bisa dijelaskan sebagai berikut:
    “At the measurement model level, PLS estimates items loading and covariance. At the structural level, PLS estimates path coefficients and correlation among Latent Variables, together with individual R2 and AVE (Average Variance Extracted) of each of the latent constructs. T-values of both path and loadings are then calculated using either jackknife or a bootstrap method. Good model fit is established with significant path coefficients, acceptably high R2 and internal consistency (construct reliability) being above 0.70 for each construct” (Gefen, Straub, and Boudreau, 2000).
  • Barclay et al. (1995) menyarankan bahwa model PLS dianalisis dan diinterpretasikan dalam dua langkah berurutan berikut: pertama, menilai validitas dan reliabilitas model pengukuran (hubungan dari indikator ke laten variabel), kedua lalu menilai model strukturalnya.
  • Cross Validation diperlukan dalam rangka menguji seberapa baik solusi yang diperoleh dari fitting model terhadap suatu sampel juga akan sesuai untuk sampel independen lainnya dari populasi yang sama (Chin and Todd, 1995).
  • Statistik dari measurement model yang penting yaitu: item reliability, internal consistency, Average Variance Extracted (AVE), square root of AVE, and cross-loadings (Barclay, Higgins, and Thompson, 1995). Tiga uji pertama dikenal sebagai validitas konvergensi (Fornell and Larcker, 1981) dan dua uji terakhir dikenal sebagai validitas diskriminan (Barclay, Higgins, and Thompson, 1995).
  • Evaluasi model yang biasa digunakan dalam PLS adalah R-kuadrat, bootstapping/jackknifing, composite reliability, AVE dan cross-loadings.
  • R-kuadrat, sebagaimana pada analisis regresi berganda biasa, berfungsi untuk mengetahui seberapa besar variansi dalam construct dapat dijelaskan oleh model.
  • Bootstrapping atau alternatifnya, jackknifing, digunakan untuk menilai signifikansi statistik dari loadings dan koefisien structural path. Penggunaan tekhnik ini karena mengacu pada data yang digunakan yang tidak mengasumsikan harus multivariate normal.